Selasa, 09 April 2013

MENGENDALIKAN HAMA PADA TANAMAN PADI SECARA TERPADU MENGGUNAKAN PRINSIP INTEGRATED PEST MANAGEMEN




Memperhatikan berbagai efek negatif yang terjadi dari penggunaan bahan kimia dalam dunia pertanian, maka mulai diadakan penelitian-penelitian yang mengarah kepada penggunaan jasad hidup untuk penanggulangan kerusakan di dunia pertanian, yang dikenal dengan pengendalian biologi (”Biologic control”). Dalam metode ini dimanfaatkan serangga dan mikro organisme yang bersifat predator, parasitoid, dan peracun. Usaha untuk meningkatkan hasil pertanian terus berlanjut dengan memperhatikan aspek keamanan lingkungan, kesehatan manusia dan ekonomi, maka muncul istilah ”integrated pest control”, integrated pest control dan selanjutnya menjadi integrated pest management (IPM), yang dikenal dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) juga ada istilah Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).

Sebelum kami menjelaskan cara pengendalian hama tanaman padi secara terpadu maka sebelum membahasnya lebih lanjut kami menyarankan untuk mempelajari " Managemen Pengendalian Hama dan Penyakit Secara Terpadu " dengan klik disini. Upaya -upaya yang dilakukan adalah bagaimana caranya supaya jumlah hasil produksi lahan-lahan pertanian dapat meningkat dan tentu saja dengan biaya produksi yang lebih sedikit sehingga keuntungan yang diperoleh petani dapat meningkat. Untuk alasan itulah artikel ini ada dan kami sajikan kepada anda-anda sekalian.


HAMA PADI
1. Tikus 
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan spesies dominan pada pertanaman padi. Selain itu, dapat pula ditemukan tikus semak R. Exulans. Hama tikus perlu dikendalikan seawal mungkin, mulai dari pengolahan tanah sampai tanaman dipanen. Telah banyak cara pengendalian hama tikus sawah yang dilakukan petani, namun ketepatan pemilihan waktu pengendalian, sasaran habitat, dan teknologi yang digunakan belum mencapai sasaran. Karena itulah maka populasi tikus hampir disemua daerah sentra pertanaman padi sawah semakin meningkat. Beberapa komponen teknologi pengendalian hama tikus sawah yang bisa dilakukan adalah:

a. Sanitasi lingkungan dan manipulasi habitat
© Membersihkan dan memperbaiki lingkungan di sekitar areal pertanaman padi, seperti: semak belukar, tanggul-      tanggul saluran irigasi dan pematang sawah sehingga tikus merasa tidak nyaman untuk berlindung dan berkembang      biak
© Memperkecil ukuran pematang sawah (tinggi dan lebar + 30 cm) dapat menghambat perkembangan populasi tikus      karena tikus tidak nyaman untuk membuat sarang

b. Kultur teknis
Musim tanam yang teratur dan terjalinnya kebersamaan antar petani dalam setiap kelompok tani serta kebersamaan antar kelompok tani dalam satu hamparan sehingga tumbuh kebiasaan bertanam serentak, penanaman varietas yang sama setiap musim (waktu panennya sama), pengaturan pola tanam, waktu tanam, dan jarak tanam.
© Pengaturan pola tanam. Pada lahan sawah irigasi dilakukan pergiliran tanaman, seperti: padi-padi-palawija,      padi- padi- bera, padi-palawija ikan-padi. Ini akan mengakibatkan terganggunya siklus hidup tikus akibat      terbatasnya ketersediaan makanan.
© Pengaturan waktu tanam. Penanaman padi sawah yang serentak pada satu hamparan (minimal 100 hektar) dapat      meminimalkan kerusakan karena serangannya tidak terkonsentrasi pada satu lokasi tetapi tersebar sehingga      kerusakan rata-rata akan lebih rendah
© Pengaturan jarak tanam. Bertujuan menciptakan lingkungan terbuka sehingga tikus tidak merasa puas dalam mencari     makanan. Penanaman padi agak jarang atau sistem tanam jajar legowo (bershaf) kurang disukai oleh tikus sawah
    (suasana terang) karena takut adanya musuh alami (predator).

c. Fisik dan mekanis
Secara fisik dengan mengubah lingkungan fisik seperti: suhu, kelembaban, cahaya, air, dll sehingga tikus menjadi jera atau mengalami kematian karena adanya perubahan faktor fisik.Secara mekanis, dengan menangkap dan membunuh tikus secara langsung atau menggunakan alat seperti cangkul, kayu pemukul, alat perangkap, penyembur api (solder) dan emposan atau fumigasi. Kelebihan cara ini, yaitu:
(1) sederhana dan tidak memerlukan alat yang mahal;
(2) Dapat menurunkan populasi tikus secara nyata; dan
(3) meningkatkan kebersamaan petani.

Sedangkan kelemahan cara ini, yaitu: 
(1) memerlukan tenaga kerja relatif banyak;
(2) memerlukan kebersamaan antar petani; dan
(3) menimbulkan kerusakan lingkungan seperti terbongkarnya pematang sawah, rusaknya saluran irigasi, tanggul, dsb.
® Gropyokan massal atau berburu tikus bersama. Mudah dilaksanakan, biaya murah, dan efektif menurunkan populasi     hama tikus, tetapi membutuhkan kebersamaan.
® Alat perangkap. Bubu perangkap untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup, dan umpan beracun untuk     menangkap tikus sampai tikus tersebut mati
® Solder dan emposan. Solder untuk menyeburkan api dan udara panas ke dalam lubang atau sarang tikus sehingga     tikus keluar atau mati dalam sarangnya. Untuk lebih efektifnya alat ini dapat digunakan belerang yang diletakkan     pada mulut sarang tikus sehingga hembusan asap belerang yang panas dapat meracuni tikus yang ada dalam sarang.

d. Biologis
Musuh alami tikus biasanya adalah: burung hantu, ular, anjing, dan kucing. Numun, musuh alami ini pada sawah irigasi sudah jarang ditemukan.

e. Kimiawi
Petani sudah banyak mengetahui pengendalian secara kimiawi ini, seperti rodentisida, fumigasi, dll. Namun cara ini hanya dianjurkan bila populasi tikus sangat tinggi dan cara lain sudah dilaksanakan.


f. Penerapan sistem SPBL dan SPB
Penangkapan tikus terutama di daerah endemis dapat dilakukan dengan sistem perangkap bubu (SPB) atau Trap Barrier System (TBS). Tanaman perangkap adalah padi yang ditanam pada lahan berukuran 20x20 m atau 50x50 m di tengah hamparan. Penanaman dilakukan 3 minggu lebih awal, pada saat petani disekitarnya membuat pesemaian. Tanaman perangkap dipagar dengan plastik setinggi 60 cm, disetiap sisi pagar ditaruh satu unit perangkap bubu berukuran 25x25x60 cm. Perangkap bubu dapat dibuat dari ram kawat atau kaleng bekas minyak goreng. Di sekeliling tanaman perangkap dibuat parit agar bagian bawah pagar selalu tergenang air, sehingga tikus diharapkan tidak dapat melubangi pagar atau menggali lubang di bawah pagar. Perangkap bubu perlu diperksi setiap hari sehingga tikus atau hewan lainnya yang terperangkap tidak mati dalam bubu. Setiap SPB mempunyai pengaruh sampai radius
200 m (hallo effect) sehingga satu unit SPB diperkirakan mampu mengamankan pertanaman padi seluas 10-15 ha dari serangan tikus.
Sistem perangkap bubu linier (SPBL) atau LTBS (Linear Trap Barrier System) digunakan untuk penangkapan tikus migran yang berasal dari sekitar sawah bera, rel kereta api, perkampungan atau saluran irigasi. Terdiri dari pagar plastik setinggi 50 cm sepanjang minimal 100 m dan pemasangan perangkap bubu setiap jarak 20 m. SPBL
dipasang diantara pertanaman padi dengan habitat tikus, untuk jangka waktu 3-5 hari. SPBL dapat dipindahkan ke lokasi lain. Teknologi ini akan berhasil jika dapat diterapkan pada hamparan relatif luas dengan melibatkan beberapa petani sehamparan. Keberhasilan pengendalian hama tikus sangat tergantung pada kearifan memadukan komponen teknologi tersebut. Pada Tabel 2 disajikan model strategi pengendalian hama tikus terpadu yang dapat disesuaikan dengan lingkungan spesifik.


TIPS DAN TRIK MENGATASI HAMA TIKUS 
Hama tikus adalah mahluk yang cerdas. Tikus mempunyai karakterisitik sebagai berikut :
1. Tikus mudah jera, tikus tidak akan melakukan hal yang sama apabila dia telah mempunyai pengalaman buruk      terhadap satu hal. Dengan mengetahui sifat ini petani akan mencari cara lain ketika cara sebelumnya belum sukses       menjerat tikus.
2. Tikus selalu berhati-hati dalam memilih makanan. Kebiasaan tikus dalam memakan sesuatu biasanya dicicipi terlebih      dahulu, tikus tidak akan langsung memakan makanan yang ada didepannya walaupun mereka lapar. Untuk itu      kepada para petani hendaknya seminim mungkin racun yang terkandung didalam jebakan memiliki rasa yang tidak      disukai tikus.
3. Tikus mempunyai penciuman yang tajam. Sebelum memakan umpan tikus akan menjilat dan mencium calon      makanannya, apabila calon makanannya mengandung bau-bau manusia maka jangan berharap umpannya dimakan      oleh tikus.
4. Tikus mempunyai kebiasaan melalui jalan yang sama. Kebiasaan tikus yang satu ini dapat dimanfaatkan oleh petani     untuk menangkap tikus karena jalur yang pernah dilalui oleh tikus akan dilaluinya lagi. Sifat ini karena tikus     mempunyai wilayah ekspansinya sendiri-sendiri dengan mencium bekas bau badannya.
    Berdasarkan pengalaman penulis dengan prilaku ini, penulis pernah mencoba memberi aroma parfum milik kami dan     kami semprotkan ke jalan tikus. Jalan itu kami ketahui ketika kami sempat melihat sekelebatan ( tikus rumah ). Pada     waktu yang berbeda memang kami sengaja mengamatinya ternyata tikus menjadi kebingunan ketika mendekati     daerah yang kami semprot dengan parfum tersebut dan berbalik arah kembali ke jalannya semula dan tidak jadi     melanjutkan perjalanannya. Pengalaman kami ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan tikus.Misalnya     dengan memilih pestisida yang memiliki bau menyengat.


2. Penggerek Batang Padi
Penggerek batang merusak tanaman padi pada berbagai fase pertumbuhan, dan ditemukan pada padi sawah, padi air dalam dan padi gogo. Empat jenis penggerek batang padi yang umum ditemukan adalah; Penggerek batang padi kuning (Tryporyza incertulas), penggerak batang padi bergaris (Chilo suppressalis), penggerek batang padi putih (Tryporyza innotata), dan penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens). Kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh semua jenis hama penggerek batang adalah sama, yaitu matinya pucuk tanaman pada stadia vegetatif (sundep) dan malai yang keluar hampa pada stadia generatif (beluk).
Pengendaliannya adalah:
® Panen padi sawah dengan cara memotong tunggul jerami rendah supaya hidup larvanya terganggu dimana larva yang ada dibagian bawah tanaman tertinggal dan membusuk bersama jerami.
® Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan mengambil kelompok telur pada saat tanaman berumur 10-17 hari setelah semai, karena hama penggerek batang sudah mulai meletakkan telurnya pada tanaman padi sejak di pesamaian.
® Harus diamati intensif sejak semai sampai panen. Kalau populasi tinggi dapat dikendalikan dengan insektisida butiran (karbofuran, fipronil) dan insektisida cairan (dimehipo, bensultap, amitraz, dan fipronil) yang diaplikasikan bila
populasi tangkapan ngengat 100 ekor/minggu pada perangkap feremon atau 300 ekor/minggu pada perangkap lampu. Insektisida butiran diaplikasikan bila genangan air dangkal dan insektisida cair bila genangan air tinggi.
® Penangkapan massal ngengat jantan dengan memasang perangkap feromon 9- 16 perangkap setiap hektar untuk mengamati spesies dominan.


3. Wereng coklat atau wereng punggung putih
Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) memiliki tingkat kemampuan reproduksi yang tinggi jika keseimbangan populasinya terganggu oleh penanaman varietas peka, perubahan iklim (curah hujan), maupun kesalahan aplikasi insektisida yang menyebabkan resurjensi hama. Wereng coklat mampu merusak tanaman padi dalam skala luas pada waktu yang relatif singkat. Wereng coklat dan wereng punggung putih (Sogatella furcifera H.) seringkali menyerang tanaman secara bersamaan pada tanaman stadia vegetatif. Varietas yang tahan wereng coklat belum tentu tahan wereng punggung putih. Oleh karena itu, pengendalian wereng coklat harus dimulai sebelum tanam. Pengendaliannya adalah:
® Di daerah endemis wereng coklat, pada musim hujan harus ditanam varietas tahan wereng coklat.
® Gunakan berbagai cara pengendalian, mulai dari penyiapan lahan, tanam jajar legowo, pengairaninttermitten, takaran pupuk sesuai BWD.
® Monitor perkembangan hama wereng punggung putih dan perimbangan populasi wereng coklat dan musuh alami pada umur 2 minggu setelah tanam sampai 2 minggu sebelum panen.
Pengambilan keputusan pengendalian wereng coklat berdasarkan ambang kendali perlu mempertimbangkan populasi musuh alami, dengan cara:

- Lakukan pengamatan pada 20 rumpun tanaman secara diagonal. Hitung jumlah wereng coklat + wereng punggung putih, predator (laba-laba, Opionea, Paedorus, dan Coccinella), dan kepik Cyrtohinus. Hasil pengamatan kemudian dijabarkan ke dalam rumus:
          A – (5B + 2C)
D = --------------------
              20
Dimana:
A = Jumlah wereng coklat + wereng punggung putih per 20 rumpun tanaman
B = Jumlah predator per 20 rumpun tanaman
C = Jumlah kepik Cyrthorinus per 20 rumpun tanaman
D = Jumlah wereng terkoreksi

- Penggunaan insektisida didasarkan pada jumlah wereng terkoreksi dan umur tanaman, yaitu bila: Nilai D >5 ekor pada saat tanaman berumur <40 HST, atau >20 ekor umur 40 HST
- Insektisida yang dianjurkan adalah fipronil (untuk biotipe 1 atau 2) dan imidakloprid (untuk biotipe 1, 2, 3, dan 4), atau insektisida rekomendasi setempat.

- Bila populasi hama dibawah ambang ekonomi, gunakan insektisida botani atau jamur ento-mopatogenik (Metarhizium annisopliae atau Beauveria bassiana)

PERKEMBANGAN WERENG COKLAT BIOTIPE 4 
Biotipe didefinisikan sebagai suatu populasi atau individu yang dapat dibedakan dari populasi atau individu lain bukan karena sifat morfologi, tetapi didasarkan kepada kemampuan adaptasi, perkembangan pada tanaman inang tertentu, daya tarik untuk makan, dan meletakkan telur.

Dari pengalaman yang panjang, yakni sejak munculnya serangan wereng coklat di Indonesia yang pertama kali pada tahun 1930 (: 77 tahun), wereng coklat terbukti mampu beradaptasi secara terus menerus bila dipelihara pada suatu varietas dan mampu mematahkan ketahanan varietas serta menghilangkan daya seleksi varietas yang ditempatinya.
Oleh karena itu, dalam mengendalikan wereng coklat perlu adanya pergiliran varietas. Hal ini dilakukan untuk menunda seleksi terarah yaitu untuk menunda seleksi terarah yaitu untuk menunda terjadinya biotipe baru. Yang dimaksud, pergiliran varietas adalah bagian dari pergiliran tanaman, tetapi dengan tanaman sejenis yang berbeda ketahanannya.

Sejak diketahuinya ada wereng coklat pada 1930 (biotipe nol), baru timbul wereng coklat biotipe 1 pada tahun 1971. Pada Tahun 1967 diintroduksi varietas padi unggul ajaib IR5 dan IR8 yang tidak mempunyai gen ketahanan terhadap wereng coklat, namun berproduksi tinggi yaitu lebih dari 2 kali lipat produksi padi yang telah ada saat ini. Hanya saja nasinya berasa pera. Lalu, pada tahun 1971 dilepas varietas Pelita I/1 yang tidak mempunyai gen ketahanan terhadap wereng coklat dengan rasa nasi enak dan pulen. Tetapi pada tahun 1972 terjadi ledakan serangan werengt coklat pada varietas-varietas tersebut, hal ini karena ada perubahan biotipe wereng coklat biotipe nol menjadi wereng coklat biotipe 1.

Pada tahun 1975, untuk menghadapi wereng biotipe 1 telah diintroduksi varietas IR26 (gen tahan Bph 1) dari IRRI. Namun demikian, pada tahun 1976 terjadi ledakan wereng coklat yang hebat dibeberapa daerah sentral produksi padi. Hal ini karena ada perubahan wereng coklat biotipe 1 ke wereng coklat biotipe 2.
Pada tahun 1980, untuk menghadapi wereng biotipe 2 diintroduksi lagi varietas IR42 (gen tahan bph2) dari IRRI. Varietas baru ini mampu bertahan dilapangan, namun pada perbesar MP 1981 / 1982 dilaporkan dari kabupaten Simalunggun – Sumatera Utara bahwa IR42 telah terserang wereng coklat. Wereng coklat tersebut diuji dilaboratorium reaksinya terhadap varietas diferensial menyimpang dari sifat biotipe yang etlah diketahui, sehingga wereng tersebut dimasukkan sebagai wreng coklat IR 42 SU (Deli Serdang).

Wereng coklat yang meledak di Sumatera Utara hampir mirip dengan wereng coklat populasi asia selatan (SAA) yang terdapat di India dan Srilangka. Pengujian biotipe terus dilanjutkan dan akhirnya diketahui bahwa wereng yang menyerang IR42 di Sumut adalah wereng coklat biotipe 3.

Untuk menghadapi wereng coklat biotipe 3 telah diintroduksikan varietas padi IR 56 (gen tahan Bph3) pada 1983 dan IR64 (gen tahan Bph1+) tahun 1986. Ternyata varietas IR64 ini menyelamatkan bangsa, karena mempunyai rasa nasi enak, produksi tinggi, dan tahan wereng coklat biotipe 3, sehingga petani menjadi tenang bila menanam varietas tersebut. Sejak itu banyak varietas padi buatan bangsa Indonesia yang dilepas untuk menghadapi wereng coklat di pertanaman, namun varietas baru tersebut dilepas sebagai keturunan dari IR64. Dilain pihak varietas IR56 kurang beruntung karena tak banyak disukai petani.


Antisipasi dini 
Selanjutnya sebagai antisipasi dini kemungkinan terjadinya serangan wereng coklat biotipe 4 maka pada tahun 1991 diintroduksi varitas IR74 (gen tahan Bph3) untuk mempertinggi keragaman genetik pertanaman mozaik. Namun demikian varietas IR74 yang mempunyai rasa nasi pera tidak bisa ditanam petani.

Pada 2005 beredar isu nasional karena terjadi serangan wereng coklat pada tanaman padi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat terhadap varietas IR64 dan beberapa varietas populer lainnya yang telah patah ketahanannya dari uji ketahanan varietas lanjutan menunjukkan bahwa varietas IR42 (Bph2) sudah patah ketahananya terhadap wereng coklat asal Patih dan Demak dengan reaksi agak peka sampai peka, sedangkan Cisadane dan Ciliwung dan Tukad Petanu berekasi agak tahan sampai agak peka. Varietas IR64, IR6, Cisadane, Sri Putih, Sri Putih Jateng, Ciherang, Bondoyudo, Kalimas dan membramo berekasi agak tahan terhadap wereng coklat asal Patih dan Demak.
Pada 2005 teridentifikasi bahwa pada wereng coklat diPatih masih tetap merupakan biotipe 3 yang mulai berkembang sejak tahun 1995, sedangkan yang di Demak berunah dari wereng coklat biotipe 2 pada 1985 menjadi wereng coklat biotipe 3 pada tahun 2005.

Kestabilan wereng coklat biotipe nol bertahan selama 41 tahun sebelum menjadi wereng coklat biotipe 1. perubahan wereng coklat biotipe 1 ke wereng coklat biotipe 2 hanya dalam waktu 4 tahun, dan perubahan wereng coklat biotipe 2 ke wereng coklat bitipe 3 hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Setelah terjadi wereng coklat biotipe ke 3 sampai 2005 sudah 25 tahun sejak terjadinya wereng coklat biotipe 2 masih tetap didominasi wereng coklat biotipe 3, namun pada 2006 seudah mulai ada wereng coklat biotipe 4 di Asahan, Sumatera Utara.

Keberadaan wereng coklat biotipe 3 yang cukup lama, disebabkan adanya varietas IR64 (Bph 1 +) yang merupakan varietas Durable resistance sebagai penyangga perubahan wereng coklat di biotipe yang lebih tinggi, juga disebabkan tidak berkembangnya varietas IR74 (Bph3) yang akan menyulut terbentuknya biotipe baru.

Untuk keperluan manajemen pengendalian wereng coklat diperlukan data tingkat biotipe dari seluruh sentra produksi padi dan data ketahanan galur / varietas terhadap wereng coklat biotipe 1, 2, 3 dan 4. Identifikasi wereng coklat untuk menentukan tingkat biotipenya terus dilanjutkan terutama pada daerah-daerah yang varietas IR64 telah patah ketahanannya.

4. Siput murbei atau keong mas (Pomace canaliculata Lamarck)
Merupakan hama baru yang penyebarannya cukup luas. Kerusakan terjadi ketika tanaman masih muda. Petani harus menyulam atau menanam ulang pada daerah dengan populasi siput yang tinggi sehingga biaya produksi meningkat.
Pengendaliannya adalah:
® Mencegah introduksi keong mas pada areal baru. Bila keong mas masuk      ke dalam areal sawah baru akan berkembang cepat terutama pada      lahan yang selalu tergenang dan akan sukar dikendalikan.
® Pengendalian harus berkesinambungan, walaupun tanaman sudah berumur     30 HST, pengendalian harus tetap dilakukan untuk mencegah serangan      pada pertanaman berikutnya.
® Secara mekanis dapat dilakukan dengan mengambil dan memusnahkan     telur dan keong mas baik dipesemaian atau di pertanaman secara     bersama-sama, membersihkan saluran air dari tanaman air seperti     kangkung, dan  mengembalakan itik setelah panen. Untuk mengurangi     kegagalan panen, harus menyiapkan benih lebih banyak.
® Keong Mas dapat dimakan, maka belajarlah cara memasak keong mas. Penulis pernah memakan keong mas ini dan     rasanya mirip dengan bekicot hanya saja apabila kurang mengerti cara memasaknya maka akan ada rasa tanah     setelah dimasak. Apabila ini dimanfaatkan untuk menu makanan maka kami menjamin keong mas nantinya bukan     lagi hama tetapi akan dibudidayakan. He.... he..... mudah -mudahan " kabul kajate"
Pengendalain pada stadia vegetatif, dapat dilakukan dengan :
(1) pemupukan P dan K sebelum tanam;
(2) menanam bibit yang agak tua (>21 Hari) dan jumlah bibit lebih banyak;
(3) mengeringkan sawah sampai 7 HST;
(4) tidak mengaplikasikan herbisida sampai 7 HST;
(5) mengambil keong mas atau telur dan memusnahkan;
(6) memasang saringan pada pemasukan air untuk menjaring siput;
(7) mengumpan dengan menggunakan daun talas atau daun pepaya;
(8) Aplikasi pestisida anorganik atau nabati seperti saponin dan rerak sebanyak 20-50 kg/ha

5. Hama ganjur (Orseolia oryzae Wood Mason)
Sering terjadi pada musim hujan terutama pada tanaman padi yang terlambat tanam.
Pengendaliannya adalah:
® Penanaman varietas tahan, seperti: Tajum dll.
® Pengamatan tiap minggu, bila tingkat serangan mencapai 2% maka aplikasikan insektisida karbofuran dengan      takaran 0,5 kg bahan aktif/ha.
® Lakukan pola pengairan yang terkadang tanaman padi diairi- kemudian dikeringkan selama beberapa hari dan tentu     saja dengan memperhatikan vasi tumbuh tanaman. Orseolia sp membutuhkan media air untuk berpindah dari     tanaman satu ke tanaman yang lainnya dan akan mati apabila tidak ada air selama beberapa hari.

6. Lembing batu (Scotinopora coarctata) atau black bugs
Berkembang dengan cepat sejak tanaman berumur 30 HST dan perkembangannya terhambat bila sawah dalam keadaan tergenang. Pengendalian dapat dilakukan pada stadia vegetatif dan generatif. Jika populasi rata-rata telah
mencapai >5 ekor/rumpun maka perlu diaplikasikan insektisida seperti: etripole dan alfametrin

7. Ulat tentara (Mythimna separata)
Menyerang tanaman secara tidak terduga baik stadia vegetaif maupun generatif. Pengendalian dilakukan bila telah terjadi serangan. Dan silahkan baca tips-tips memilih dan menggunakan pestisida pada artikel sebelumnya denganklik disini .

8. Walang sangit (Leptocorisa spp.)
Hanya menyerang tanaman yang sudah berbulir. Pengendaliannya adalah dengan prangkap bangkai, walang sangit akan tertarik dengan aroma-aroma yang tidak sedap seperti aroma bangkai. Kami menganjurkan menggunakan bangkai yuyu ( bletang ( bahasa madura )) yang banyak tersedia di persawahan. Pengendalian dengan insektisida dilakukan jika populasinya melebih ambang kendali yaitu pada saat setelah stadia pembungaan ditemukan rata-rata >10 ekor/rumpun.



REFERENSI
1. Horsfall, J. G. And Ellis, B. C. 1977. Plant disease an advanced treatise. How disease is managed. Vol I. Academic     Press New York, San Francisco, London.
2. Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003. Petunjuk Teknis Pengelolaan Hara dan     Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian;
3. Semangun H. 1990. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press
4. http://visualsunlimited.photoshelter.com/image/I00001SGrN.azp2E
5. http://www.nesmd.com/shtml/22294.shtml
6. http://openpdf.com/ebook/musuh-alami-agrotis-ipsilon-pdf.html
7. Prof. Dr. Ir. Baehaki SE- Penulis adalah peneliti di Balai Besar Penelitian Padi -Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 1 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar